‘Kamu tahu, bedanya kopi
dengan rindu?. Tak ada perbedaan diantara mereka, keduanya sama-sama pahit,
namun tetap nikmat tuk dinikmati.’
Hari ini hujan kembali turun, hujan yang amat deras. Sesuai dengan kata
orang-orang, hujan itu 1 persen cairan dan 99 persen kenangan. Ini adalah
cerita tentang bagaimana hujan menuntunku ke masa lalu. Malam itu, ketika
usiaku 10 tahun, dengan polosnya aku berkata kepada ayahku.
“Kalau bulu mata
ayah jatuh, itu tandanya ada seseorang yang sangat merindukan ayah”.
“Lalu bagaimana ayah tau
siapa yang merindukan ayah itu?”. Jawab
ayah sambil menatapku.
“Ayah cukup menyesuaikan
tanggal dengan deret urut huruf awal namanya”. Ayahku
sontak tertawa geli dan membelai rambutku.
Kemudian bunda muncul
dari balik pintu dan semakin menambah kehangatan ditengah dinginnya angin
malam. “Wah, jagoan-jagoan bunda pada ngumpul nih. Nah, sekarang jamnya Salsa,
Bella, minum susu yah.”
“Untuk ayah, mana bunda?”
tanya ayah dengan nada sok manja.
Bunda lalu memberikan
ayah secangkir kopi pahit dengan aroma pekat. Sedangkan bunda yang tak menyukai
minuman hangat, memilih air putih seperti biasanya.
“Ayah, aku menyukai aroma
pekat dari kopi pahit ayah. Boleh Salsa mencicipinya?”, ujarku polos.
“Rasanya pahit,
sayang. Ayah yakin anak seperti kamu pasti tidak akan menyukainya.” Jawab ayah
memberi nasihat, sembari menyodorkan kopi pahitnya.
Aku mulai meneguk kopi itu, seisi ruangan menunggu reaksiku. Namun sayang, aku
harus mengecewakan mereka karena ekspresiku yang datar-datar saja. Tapi
sungguh, jauh di dalam sanubariku, aku sangat menyukainya. Namun firasatku
berkata bahwa bunda pasti melarangku untuk mencobanya lebih banyak lagi.
“Bagaimana rasanya? Pahitkan?”
***
Malam itu, berakhir
dengan sangat indah. Dan sejak saat itu, setiap pukul 12.00 malam, aku
terbangun dan langsung menuju ke ruang kerja ayahku yang hanya berjarak
beberapa meter dari kamar tidurku. Kami menikmati secangkir kopi pahit beraroma
pekat milik ayah tanpa sepengetahuan ibu dan adikku Bella. Aku duduk dipangkuan
ayah, sambil menceritakan bulu mata kerinduan yang terjatuh setiap pagi ketika
aku berada disekolah.
“Ayah, aku sangat
bingung, tentang siapa orang yang selalu merindukanku di setiap pagi”.
“Mungkin saja, dia adalah
orang yang dekat dengan Salsa, namun Salsa tidak pernah menyadarinya”.
“Atau jangan-jangan,
anaknya om Rusmal!”.
“Imran? Hahaha mana
mungkin sayang, kalain itu sepupu”.
Setelah puas bercerita
tentang bulu mata kerinduan, biasanya aku tertidur dipangkuan ayah yang
kemudian menggendongku ke kamar, saat itu aku belum kehilangan kesadaran
sepenuhnya. Dalam gendongan ayah aku terlalu menyukainya karena aku bisa
merakan aroma kopi pekat yang lekat pada diri ayah.
***
8 juni 2013. Senang, sedih, haru, bangga, bercampur menjadi satu rasa yang
nikmat. Bagaimana tidak, kami bersama-sama melihat nama kami tertera nyata,
bahwa kami LULUS. Aku menduduki predikat ke-2 se-provinsiku. Tiba-tiba
kurasakan sesuatu mengganjal di daerah pipiku. “Bulu mata kerinduanku terjatuh
lagi, di tanggal 8”. Aku menghitung deret abjad, dan tanggal 8 jatuh pada huruf
“H”.
Untuk pertamakalinya aku
pulang larut malam. Pukul 11.00, aku merasakan pergolakan batin yang tak dapak
ku jelaskan apa dan kenapa. Aku berlari kecil keruang kerja ayahku. Namun tak
ku dapati ayahku disana. Hanya ada selembar kertas dan dua cangkir kopi pahit
yang tak lagi panas. Aku duduk membaca tulisan itu.
Putriku, Salsa.
Gadis kecil ayah, yang
selalu bercerita tentang bulu mata kerinduan
Permata hati ayah. Ayah harap Salsa bisa
menjadi kakak yang baik untuk Bella, dan anak yang bisa diandalkan untuk bunda.
Hari ini ayah menunggu Salsa diruang kerja ayah, untuk merayakan keluluasanmu
nak. Namun sudah petang, anak gadisku belum pulang juga. Ayah khawatir. Diluar
sedang hujan deras. Ayah tersungkur lemah disini. Ayah mencintai keluarga ayah.
Sangat. Selamat atas keberhasilanmu nak. Maafkan ayah yang tak bisa menunggu
untuk mengucapkannya secara langsung. Tentang bulu mata kerinduanmu nak, sudah
menemukan jawabannya?”.
Aku
menangis tersedu-sedu, walau masih ada pertanyaan besar dihatiku. Namun aku
melihat banyak lembaran hasil check up. Mataku terbelalak
melihatnya. Ayahku mengidap penyakit kanker paru-paru stadium akhir. Aku
menangis sejadi-jadinya.
“Ayah!
Jadi ayah yang selama ini merindukanku. Awalan ‘H’ Hartono. Maafkan anakmu ini
yang tak pernah menyadarinya”.
***
Dikamar
kosong aku menyulut sepi bersama kesendirian di 8 Oktober 2016. Dengan bulu
mata kerinduan dan huruf ‘H’ yang sama. Pula dengan kopi pahit nan pekat.
Menyadari tentang perpisahan. Mendewasakan hati. Awal tegukan yang manis,
tengah kenikmatan yang puitis, hingga berakhir pada pahitnya ampas berujung
miris. Layaknya segelas kopi? That’s right. Aku memang tengah
menikmati itu bersama semua bayangan masa lalu.
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar