Minggu, 05 November 2017

Aroma R i n d u

‘Kamu tahu, bedanya kopi dengan rindu?. Tak ada perbedaan diantara mereka, keduanya sama-sama pahit, namun tetap nikmat tuk dinikmati.’
        Hari ini hujan kembali turun, hujan yang amat deras. Sesuai dengan kata orang-orang, hujan itu 1 persen cairan dan 99 persen kenangan. Ini adalah cerita tentang bagaimana hujan menuntunku ke masa lalu. Malam itu, ketika usiaku 10 tahun, dengan polosnya aku berkata kepada ayahku.

 “Kalau bulu mata ayah jatuh, itu tandanya ada seseorang yang sangat merindukan ayah”.
“Lalu bagaimana ayah tau siapa yang merindukan ayah itu?”. Jawab ayah sambil menatapku.
“Ayah cukup menyesuaikan tanggal dengan deret urut huruf awal namanya”. Ayahku sontak tertawa geli dan membelai rambutku.

Kemudian bunda muncul dari balik pintu dan semakin menambah kehangatan ditengah dinginnya angin malam. “Wah, jagoan-jagoan bunda pada ngumpul nih. Nah, sekarang jamnya Salsa, Bella, minum susu yah.”
“Untuk ayah, mana bunda?” tanya ayah dengan nada sok manja.
Bunda lalu memberikan ayah secangkir kopi pahit dengan aroma pekat. Sedangkan bunda yang tak menyukai minuman hangat, memilih air putih seperti biasanya.
“Ayah, aku menyukai aroma pekat dari kopi pahit ayah. Boleh Salsa mencicipinya?”, ujarku polos.
 “Rasanya pahit, sayang. Ayah yakin anak seperti kamu pasti tidak akan menyukainya.” Jawab ayah memberi nasihat, sembari menyodorkan kopi pahitnya.
        Aku mulai meneguk kopi itu, seisi ruangan menunggu reaksiku. Namun sayang, aku harus mengecewakan mereka karena ekspresiku yang datar-datar saja. Tapi sungguh, jauh di dalam sanubariku, aku sangat menyukainya. Namun firasatku berkata bahwa bunda pasti melarangku untuk mencobanya lebih banyak lagi.
“Bagaimana rasanya? Pahitkan?”
***
Malam itu, berakhir dengan sangat indah. Dan sejak saat itu, setiap pukul 12.00 malam, aku terbangun dan langsung menuju ke ruang kerja ayahku yang hanya berjarak beberapa meter dari kamar tidurku. Kami menikmati secangkir kopi pahit beraroma pekat milik ayah tanpa sepengetahuan ibu dan adikku Bella. Aku duduk dipangkuan ayah, sambil menceritakan bulu mata kerinduan yang terjatuh setiap pagi ketika aku berada disekolah.
“Ayah, aku sangat bingung, tentang siapa orang yang selalu merindukanku di setiap pagi”.
“Mungkin saja, dia adalah orang yang dekat dengan Salsa, namun Salsa tidak pernah menyadarinya”.
“Atau jangan-jangan, anaknya om Rusmal!”.
“Imran? Hahaha mana mungkin sayang, kalain itu sepupu”.
Setelah puas bercerita tentang bulu mata kerinduan, biasanya aku tertidur dipangkuan ayah yang kemudian menggendongku ke kamar, saat itu aku belum kehilangan kesadaran sepenuhnya. Dalam gendongan ayah aku terlalu menyukainya karena aku bisa merakan aroma kopi pekat yang lekat pada diri ayah.
***
        8 juni 2013. Senang, sedih, haru, bangga, bercampur menjadi satu rasa yang nikmat. Bagaimana tidak, kami bersama-sama melihat nama kami tertera nyata, bahwa kami LULUS. Aku menduduki predikat ke-2 se-provinsiku. Tiba-tiba kurasakan sesuatu mengganjal di daerah pipiku. “Bulu mata kerinduanku terjatuh lagi, di tanggal 8”. Aku menghitung deret abjad, dan tanggal 8 jatuh pada huruf “H”.
Untuk pertamakalinya aku pulang larut malam. Pukul 11.00, aku merasakan pergolakan batin yang tak dapak ku jelaskan apa dan kenapa. Aku berlari kecil keruang kerja ayahku. Namun tak ku dapati ayahku disana. Hanya ada selembar kertas dan dua cangkir kopi pahit yang tak lagi panas. Aku duduk membaca tulisan itu.
Putriku, Salsa.
Gadis kecil ayah, yang selalu bercerita tentang bulu mata kerinduan
Permata hati ayah. Ayah harap Salsa bisa menjadi kakak yang baik untuk Bella, dan anak yang bisa diandalkan untuk bunda. Hari ini ayah menunggu Salsa diruang kerja ayah, untuk merayakan keluluasanmu nak. Namun sudah petang, anak gadisku belum pulang juga. Ayah khawatir. Diluar sedang hujan deras. Ayah tersungkur lemah disini. Ayah mencintai keluarga ayah. Sangat. Selamat atas keberhasilanmu nak. Maafkan ayah yang tak bisa menunggu untuk mengucapkannya secara langsung. Tentang bulu mata kerinduanmu nak, sudah menemukan jawabannya?”.




    
Aku menangis tersedu-sedu, walau masih ada pertanyaan besar dihatiku. Namun aku melihat banyak lembaran hasil check up. Mataku terbelalak melihatnya. Ayahku mengidap penyakit kanker paru-paru stadium akhir. Aku menangis sejadi-jadinya.
“Ayah! Jadi ayah yang selama ini merindukanku. Awalan ‘H’ Hartono. Maafkan anakmu ini yang tak pernah menyadarinya”.
***
        Dikamar kosong aku menyulut sepi bersama kesendirian di 8 Oktober 2016. Dengan bulu mata kerinduan dan huruf ‘H’ yang sama. Pula dengan kopi pahit nan pekat. Menyadari tentang perpisahan. Mendewasakan hati. Awal tegukan yang manis, tengah kenikmatan yang puitis, hingga berakhir pada pahitnya ampas berujung miris. Layaknya segelas kopi? That’s right. Aku memang tengah menikmati itu bersama semua bayangan masa lalu. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar