Selasa, 14 November 2017

Sepotong Kisah di Masa Silam #Ending

“Akan datang masa dimana kita berharap waktu dapat terulang kembali”

          Aku memberi nyawa pada semua mimpi dan harap yang kita angankan. Hari-hari ku kulalui sembari menatap nanar layar hp—ku yang takkunjung menerima kabar darimu. Kau yang melanjutkan studimu di Bandung, sementara aku berada jauh di pulau Sulawesi. Apalagi yang bisa kita tunjukkan selain perhatian melalui Smartphone yang kita miliki? Tak bisa bertemu, bahkan saling bertatap muka dari kejauhan—seperti dulu. Lantas mau mu apa? Aku adalah seorang perempuan yang rapuh hatinya. Berharap akan ada seseorang yang bisa membuatnya kuat. Atau setidaknya mengajariku caranya menjadi kuat. Aku butuh kau. Perhatian dan kabar darimu. Aku tidak mengerti. Sama sekali tak bisa ku tafsirkan maksud dari dirimu yang hanya mengirimiku pesan singkat setiap bulan dan hanya di anniversary kita. Kau tahu—tuan? PMS saja datangnya 7 hari dalam sebulan. Nah kamu? Semenit dalam sebulan. Apa ini yang namanya formalitas? Entah.

          Waktu demi waktu berlalu. Orang-orang baru mulai mengetuk pintu untuk jatuh hati. Sementara kau? Berlalu jauh entah menjauh dari pintu itu, atau ditenggelamkan oleh jauhnya jarak pemisah antara kita. Aku sempat kagum pada ia yang kusebut kaka charming. Aku sempat membiarkan hatiku terketuk olehnya yang ku sebut kaka Bad Boy. Pun aku sempat membiarkan hatiku hampir jatuh pada-nya yang tak bisa kubahasakan lagi. Kekata ku untuknya h-a-b-i-s.
          14 oktober di 2017. Hari ulang tahunku. Kau mengunggah foto—ku di salah satu akun social media—mu dengan caption “Dear”. Aku syok. Kau tahu kenapa? Sebelum aku membuka akunmu. Terlebih dahulu Ia yang tak mampu kubahasakan mengunggah video yang berisi foto-fotoku. Kau tahu apa yang lebih membuatku syok? Caption “dear” yang berda dibawah videonya. Hei.. c’mon... tiba-tiba aku merasa seperti wanita nakal yang merusak anak baik-baik; kalian berdua. Kemudian ku putuskan untuk memberitahu mu semuanya. Kucerikan kepadamu tentangnya yang tak bisa kubahasakan. Kau sakit hati. Pasti. Tapi kau adalah kau. Yang selalu terlihat strong meski yang kau dapat adalah zonk. Kau berusaha menerima semuanya.
          Bersamamu aku mengerti bagaimana rasanya memiliki kakak yang sejatinya sayang kepada adiknya. Denganmu aku belajar bagaimana membenarkan kesalahan seseorang demi melihat senyuman di wajahnya—lagi. Tanpamu, aku belajar memperbaiki diriku. Kau tahu kenapa? Karena jodoh kita adalah cerminan dari diri, bukan? Aku percaya itu.
          “Semuanya dimulai dari nol”—katamu. Menurutku mulai dari nol itu adalah kau dan aku berteman seperti sedia kala. Lantas bagaimana menurutmu? Beberapa hari yang lalu aku mengirimu pesan singkat yang berisi keluhanku terhadap tugas kuliah yang semakin hari semakin menumpuk—layaknya seorang teman. Namun apa yang ku temukan? Kau malah mengoceh tentang aku yang selalu mengeluh. Aku kaget. Kau bertingkah seolah kau tidak mengenalku sama sekali. Ahh sudahlah... lupakan. Jadi ku tarik kesimpulan bahwa kau benar-benaringin memulainya dari nol. Titik dimana kau tidak mengetahui apa-apa tentangku. Pun sebaliknya, aku tidak tahu apa-apa tentangmu. Oke fix.
          Aku berusaha menjatuhkan hatiku pada Ia yang tak bisa ku bahasakan. Namun apa yang kudapat? Aku selalu mencari sosokmu dalam dia. Jelas tak ku temukan kau disana. Bahkan bayang atau jejakmu sama sekali tak ada. Kosong. Pelan-pelan ku ajarkan ia bagaimana sosok yang bisa membuatku jatuh hati. Ia menurut. Namun aku tidak bisa. Sungguh ini berat—Tuan. It’s pure my fault. Hanya bermodalkan aku tahu bahwa kau sangat mencintaiku—dulu, tak bisa membuatku benar-benar yakin untuk melanjutkan hubungan jarak jauh denganmu. I need something real. Aku meninggalkannya—akhirnya. Hingga kembali kucari sosok yang benar-benar kau. Namun yang ketemukan ialah bait-bait perhatian diantara obrolan chatmu dengan Livia. It’s hurt me so much—Irwan. Akun social mediamu tak pernah kau ubah passwordnya. Hingga aku bebas berlalu lalang disana. Aku tidak papa kau menemukan seseorang yang baru. Hanya saja, kenapa harus Livia—lagi? Kau membuatku merasa seolah aku merampas singgasana milik Livia. Aku merasa seolah aku hanyalah obat sakit hatimu karena dulu kau tak berhasil mendapatkan.
Aku tahu kau akan mengelak jikalau kutanya. “itu hanya perhatian sebatas teman lama”—kau akan bertutur demikian. Pasti. Aku adalah sosok [pernah] kau cinta. Sosok yang pernah kau suguhkan perhatian yang sama. Aku paham betul bagaimana kau bertutur pada teman yang sebatas teman, atau kepada seseorang yang kau suka-i. 2 tahun bukanlah waktu yang sebentar untuk saling memahami—kau tahu itu. 

“Maaf, aku lupa bahwa kau bisa pergi kapan saja. Aku terlalu disibukkan oleh aku yang berfikir bahwa kau sangat mencintaiku. Pun aku yakin bahwa aku mampu menjahit  tiap luka yang telah ku cabik-cabik membusuk. Aku salah. Terimakasih telah membuktikannya—Tuan”.

           Dulu kita selalu mengucap kata sayang di penghujung malam. Kini, kita tidak lebih dari dua orang asing yang merindukan masa silam dalam diam. Aku selalu berdoa agar kita dipertemukan dengan orang-orang yang menyenangkan dan tentunya baik. Semoga kau dapat menemukan bahagia—mu. Pun aku, semoga terus berbahagia. Hidup bukanlah hanya tentang kau—Tuan. Ayo kita memperbaiki diri agar nantinya tak dikecewakan oleh cinta yang kita pilih.




“Jatuh hati tidak pernah bisa memilih. Tuhan memilihkan. Kita hanyalah korban. Kecewa adalah konsekuensi, bahagia adalah bonus.”

2 komentar: