“Akan
datang masa dimana kita berharap waktu dapat terulang kembali”
Aku
memberi nyawa pada semua mimpi dan harap yang kita angankan. Hari-hari ku
kulalui sembari menatap nanar layar hp—ku yang takkunjung menerima kabar
darimu. Kau yang melanjutkan studimu di Bandung, sementara aku berada jauh di
pulau Sulawesi. Apalagi yang bisa kita tunjukkan selain perhatian melalui Smartphone
yang kita miliki? Tak bisa bertemu, bahkan saling bertatap muka dari
kejauhan—seperti dulu. Lantas mau mu apa? Aku adalah seorang perempuan yang
rapuh hatinya. Berharap akan ada seseorang yang bisa membuatnya kuat. Atau
setidaknya mengajariku caranya menjadi kuat. Aku butuh kau. Perhatian dan kabar
darimu. Aku tidak mengerti. Sama sekali tak bisa ku tafsirkan maksud dari
dirimu yang hanya mengirimiku pesan singkat setiap bulan dan hanya di
anniversary kita. Kau tahu—tuan? PMS saja datangnya 7 hari dalam sebulan. Nah
kamu? Semenit dalam sebulan. Apa ini yang namanya formalitas? Entah.
Waktu
demi waktu berlalu. Orang-orang baru mulai mengetuk pintu untuk jatuh hati.
Sementara kau? Berlalu jauh entah menjauh dari pintu itu, atau ditenggelamkan
oleh jauhnya jarak pemisah antara kita. Aku sempat kagum pada ia yang kusebut
kaka charming. Aku sempat membiarkan hatiku terketuk olehnya yang ku sebut kaka
Bad Boy. Pun aku sempat membiarkan hatiku hampir jatuh pada-nya yang tak bisa
kubahasakan lagi. Kekata ku untuknya h-a-b-i-s.
14
oktober di 2017. Hari ulang tahunku. Kau mengunggah foto—ku di salah satu akun
social media—mu dengan caption “Dear”. Aku syok. Kau tahu kenapa? Sebelum aku
membuka akunmu. Terlebih dahulu Ia yang tak mampu kubahasakan mengunggah video
yang berisi foto-fotoku. Kau tahu apa yang lebih membuatku syok? Caption “dear”
yang berda dibawah videonya. Hei.. c’mon...
tiba-tiba aku merasa seperti wanita nakal yang merusak anak baik-baik;
kalian berdua. Kemudian ku putuskan untuk memberitahu mu semuanya. Kucerikan
kepadamu tentangnya yang tak bisa kubahasakan. Kau sakit hati. Pasti. Tapi kau
adalah kau. Yang selalu terlihat strong
meski yang kau dapat adalah zonk. Kau
berusaha menerima semuanya.
Bersamamu
aku mengerti bagaimana rasanya memiliki kakak yang sejatinya sayang kepada
adiknya. Denganmu aku belajar bagaimana membenarkan kesalahan seseorang demi
melihat senyuman di wajahnya—lagi. Tanpamu, aku belajar memperbaiki diriku. Kau
tahu kenapa? Karena jodoh kita adalah cerminan dari diri, bukan? Aku percaya
itu.
“Semuanya dimulai dari nol”—katamu.
Menurutku mulai dari nol itu adalah kau dan aku berteman seperti sedia kala.
Lantas bagaimana menurutmu? Beberapa hari yang lalu aku mengirimu pesan singkat
yang berisi keluhanku terhadap tugas kuliah yang semakin hari semakin
menumpuk—layaknya seorang teman. Namun apa yang ku temukan? Kau malah mengoceh
tentang aku yang selalu mengeluh. Aku kaget. Kau bertingkah seolah kau tidak
mengenalku sama sekali. Ahh sudahlah... lupakan. Jadi ku tarik kesimpulan bahwa
kau benar-benaringin memulainya dari nol. Titik dimana kau tidak mengetahui
apa-apa tentangku. Pun sebaliknya, aku tidak tahu apa-apa tentangmu. Oke fix.
Aku
berusaha menjatuhkan hatiku pada Ia yang tak bisa ku bahasakan. Namun apa yang
kudapat? Aku selalu mencari sosokmu dalam dia. Jelas tak ku temukan kau disana.
Bahkan bayang atau jejakmu sama sekali tak ada. Kosong. Pelan-pelan ku ajarkan
ia bagaimana sosok yang bisa membuatku jatuh hati. Ia menurut. Namun aku tidak
bisa. Sungguh ini berat—Tuan. It’s pure
my fault. Hanya bermodalkan aku tahu bahwa kau sangat mencintaiku—dulu, tak
bisa membuatku benar-benar yakin untuk melanjutkan hubungan jarak jauh
denganmu. I need something real. Aku
meninggalkannya—akhirnya. Hingga kembali kucari sosok yang benar-benar kau.
Namun yang ketemukan ialah bait-bait perhatian diantara obrolan chatmu dengan
Livia. It’s hurt me so much—Irwan.
Akun social mediamu tak pernah kau ubah passwordnya. Hingga aku bebas berlalu
lalang disana. Aku tidak papa kau menemukan seseorang yang baru. Hanya saja,
kenapa harus Livia—lagi? Kau membuatku merasa seolah aku merampas singgasana
milik Livia. Aku merasa seolah aku hanyalah obat sakit hatimu karena dulu kau
tak berhasil mendapatkan.
Aku tahu kau akan mengelak jikalau kutanya. “itu hanya perhatian sebatas teman lama”—kau
akan bertutur demikian. Pasti. Aku adalah sosok [pernah] kau cinta. Sosok yang pernah
kau suguhkan perhatian yang sama. Aku paham betul bagaimana kau bertutur pada
teman yang sebatas teman, atau kepada seseorang yang kau suka-i. 2 tahun
bukanlah waktu yang sebentar untuk saling memahami—kau tahu itu.
“Maaf,
aku lupa bahwa kau bisa pergi kapan saja. Aku terlalu disibukkan oleh aku yang
berfikir bahwa kau sangat mencintaiku. Pun aku yakin bahwa aku mampu menjahit tiap luka yang telah ku cabik-cabik membusuk. Aku
salah. Terimakasih telah membuktikannya—Tuan”.
Dulu kita selalu mengucap kata sayang di penghujung malam. Kini, kita
tidak lebih dari dua orang asing yang merindukan masa silam dalam diam. Aku
selalu berdoa agar kita dipertemukan dengan orang-orang yang menyenangkan dan
tentunya baik. Semoga kau dapat menemukan bahagia—mu. Pun aku, semoga terus
berbahagia. Hidup bukanlah hanya tentang kau—Tuan. Ayo kita memperbaiki diri
agar nantinya tak dikecewakan oleh cinta yang kita pilih.
“Jatuh hati tidak pernah bisa memilih. Tuhan memilihkan. Kita
hanyalah korban. Kecewa adalah konsekuensi, bahagia adalah bonus.”
Jarak 😊
BalasHapusyoi diks... Kejam memang hahaha
Hapus